Doa Anak Yatim – Wanita yang sedang haid diperbolehkan untuk melakukan I’tikaf di masjid, karena ibadah I’tikaf tidak mensyaratkan keadaan suci. Asalkan dapat memastikan agar tidak ada penyebaran najis di dalam masjid dan mematuhi syarat-syarat lain yang telah dijelaskan. Syaikh Abdullah Jibrin -semoga Allah merahmatinya- menjelaskan,
Kapan Waktu Mulai dan Berakhir I’tikaf 10 Hari Terakhir Ramadhan?
Batasan Waktu Minimal I’tikaf
وعليه فإنه في هذا العصر الذي توفرت فيه حفائظ للنساء تمنع من انتشار دم الحيض ومن تلويث المسجد أو غيره فلا حرج في بقاء المعتكفة في المسجد وإكمالها لمدة اعتكافها
“Perempuan haid boleh melakukan I’tikaf di masjid. Terlebih di zaman ini pembalut untuk mencegah tercecernya darah haid yang bisa mengotori masjid atau tempat lainnya, dapat dengan mudah diperoleh. Sehingga tidak mengapa wanita haid berada di masjid untuk menyempurnakan masa I’tikafnya.” (Tashil Al-Fiqh: 7/568)
Pendapat bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh berada di masjid tidak sepenuhnya tepat karena:
- Tidak Ada Dalil yang Melarang Wanita Haid Berdiam di Masjid
Ayat 43 surat An-Nisa yang sering dijadikan argumen tidak secara khusus melarang wanita haid. Ayat tersebut hanya membahas orang yang berada dalam keadaan junub, bukan haid. Mengqiyaskan haid dengan junub tidak tepat karena prinsipnya, tidak ada penyerupaan dalam masalah ibadah.
Disamping itu, haid dan junub adalah dua hal yang berbeda, sehingga tidak bisa diqiyaskan. Diantara perbedaan yang mendasar adalah : wanita haid tidak diperintahkan sholat, sementara orang junub tetap diperintahkan sholat. Haid membatalkan puasa dan junub tidak semuanya membatalkan puasa, contohnya seperti mimpi basah.
Demikian pula hadis di atas,
إني لا أحل المسجد لحائض ولا جنب
“Saya tidak menghalalkan yang mengalami haid dan junub untuk berada di dalam masjid”. (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)
Hadis ini dinilai do’if (lemah) oleh para ulama hadis. Karena diantara rowinya terdapat “Aflat bin Kholifah.” yang dinilai bermasalah oleh banyak ulama hadis.
Diantaranya dinyatakan Imam Baghowi –rahimahumullah-,
وجَوَّزَ أحمد والمزني المكث فيه وضعّف أحمد الحديث لأن راويه وهو أفلت بن خليفة مجهول
Ahmad dan Al Muzani berpendapat wanita haid boleh berdiam di masjid. Dan Ahmad menilai hadis yang dijadikan argumen dalam hal ini (yakni hadis riwayat Abu Dawud & Ibnu Majah di atas) statusnya dho’if. Karena diantara perawinya ada yang bernama Aflat bin Kholifah, dia ini orang yang majhul (tidak dikenal kapabilitasnya dalam meriwayatkan hadis). (Lihat : Syarhus Sunnah 2/46)
Pakar hadis kontemporer uang menilai dho’if adalah, Syeikh Albani –rahimahullah– dalam buku beliau “Tamamul Minnah” (halaman 118-119).
Kalau saja hadis ini shahih, tentu menjadi dalil tegas larangan perempuan haid masuk masjid. Sehingga tidak perlu ada perbedaan pendapat. Namun kenyataannya hadis ini do’if, tidak bisa dijadikan dalil.
- Prinsip Asal dalam Hukum Islam
Prinsip asal dalam hukum Islam menyatakan bahwa seseorang tidak terbebani dengan larangan atau kewajiban syariat kecuali ada dalil yang menetapkannya. Karena tidak ada dalil yang tegas melarang wanita haid berdiam di masjid, maka secara prinsip, mereka diperbolehkan hingga ada dalil yang mengatur sebaliknya.
Syekh Ali Muhammad Farkhus (Ulama Aljazair) menjelaskan,
فلم يَرِدْ دليلٌ ثابتٌ صريحٌ يمنع الحائضَ مِنْ دخول المسجد، والأصلُ عدَمُ المنع
“Tidak ada dalil shahih dan tegas yang melarang perempuan haid masuk masjid. Dan hukum asal seorang hamba itu tidak dibebani larangan.”
- Analogi dengan Orang Kafir atau Musyrik
Orang kafir atau musyrik diperbolehkan masuk masjid selain Masjidil Haram, meskipun dapat dipastikan mereka memiliki najis pada tubuh mereka, termasuk haid. Jika mereka diperbolehkan, maka tidak ada alasan untuk melarang wanita Muslimah yang sedang haid.
Karena Allah berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٞ فَلَا يَقۡرَبُواْ ٱلۡمَسۡجِدَ ٱلۡحَرَامَ بَعۡدَ عَامِهِمۡ هَٰذَاۚ
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa), karena itu janganlah mereka mendekati Masjidilharam setelah tahun ini. (QS. At-Taubah : 28)
Dahulu Nabi pernah mengumpulkan para tamu kaum Nasrani dari Najran di masjid. Untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada mereka. (Lihat kisah ini di : Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 3/549)
Jika orang kafir saja boleh masuk masjid, padahal bisa dipastikan ada najis di badan mereka, diantaranya haid, karena memang mereka tidak perduli dengan kesucian badan, tentu wanita muslimah yang haid, yang sudah tentu menjaga diri dari najis, lebih boleh untuk masuk masjid.
- Hadis Tentang Ibunda Aisyah Radhiyallahu ‘anha
Rasulullah ﷺ tidak melarang Aisyah r.a untuk memasuki Masjidil Haram saat sedang haid. Larangan yang diberikan hanyalah terkait dengan melaksanakan tawaf mengelilingi Ka’bah, karena tawaf adalah bagian dari sholat yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang haid.
- Kisah Seorang Wanita yang Tinggal di Masjid Nabawi
Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan tentang seorang wanita yang tinggal di sebuah bilik di dalam Masjid Nabawi, meskipun sudah pasti mengalami haid. Nabi Muhammad ﷺ tidak melarangnya, sehingga menegaskan bahwa wanita yang sedang haid boleh masuk masjid.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa wanita yang sedang haid diperbolehkan untuk melakukan I’tikaf di masjid, dengan memastikan tidak adanya penyebaran najis di dalam masjid dan mematuhi aturan yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Namun, hal ini kembali lagi kepada pandangan dari masing-masing kaum muslim.
Wallahua’lam bis showab.
Sumber: bola.com
Penulis: Elis Parwati