Doa Anak Yatim – Ibadah kurban memiliki dua sisi makna yaitu makna vertikal dan horizontal. Makna vertikal berkaitan dengan hubungan spiritual antara manusia dengan Tuhannya (hablum minallah), sebagai bentuk ketaqwaan dan keimanan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sementara itu, makna horizontal mencakup dimensi sosial, di mana daging hewan kurban dibagikan kepada sesama sebagai upaya mensejahterakan umat.
Kurban adalah ibadah sunnah yang dilakukan setelah sholat Idul Adha atau selama hari tasyrik pada tanggal 10-13 Dzulhijjah. Kurban merupakan salah satu amalan yang sangat Allah cintai, juga termasuk salah satu syiar Islam yang agung dan bentuk ketaatan kepada-Nya.
Ibadah ini mencerminkan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah dan realisasi ketundukan kepada perintah dan larangan-Nya. Oleh karena itu, setiap Muslim yang memiliki kelapangan rezeki dianjurkan untuk berkurban.
Prosedur Penyembelihan Hewan Kurban
Disunnahkan bagi laki-laki yang berkurban untuk menyembelih hewan kurbannya sendiri jika ia mampu melakukannya dengan baik. Namun, bagi perempuan, disunnahkan untuk mewakilkan penyembelihan tersebut, seperti yang terdapat dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab:
وَيُسَنُّ أَنْ يَذْبَحَ الْأُضْحِيَّةَ الرَّجُلُ بِنَفْسِهِ إنْ أَحْسَنَ الذَّبْحَ لِلِاتِّبَاعِ .أَمَّا الْمَرْأَةُ فَالسُّنَّةُ لَهَا أَنْ تُوَكِّلَ كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ
“Dan disunahkan laki-laki untuk memotong hewan kurbannya sendiri jika ia memang dapat melakukannya dengan baik karena mengikuti Rasulullah SAW. Adapun perempuan maka sunah baginya untuk mewakilkannya sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab al-Majmu’. “ (Lihat, Muhammad Khatib asy-Syarbini, al-Iqna` fi Halli Alfazhi Abi Syuja`, Beirut-Dar al-Fikr, 1415 H, juz II, halaman: 588)
Hukum Memberi Upah dengan Daging Kurban
Dalam praktiknya, penyembelihan hewan kurban sering kali dilakukan oleh tukang jagal atau tim yang juga bertugas membersihkan, menguliti, mencincang, dan membuat paketan daging kurban.
Orang yang berkurban kadang memberikan upah kepada tukang jagal atau tim tersebut dengan daging hewan kurban. Bagaimanakah hukum mengenai hal ini?
Orang yang berkurban diperbolehkan membayar upah kepada tukang jagal atau tim dengan menggunakan harta lain, bukan daging hewan kurban.
Jika daging atau kulit hewan kurban diberikan kepada panitia kurban yang merangkap tim jagal dengan niat sedekah, maka hal itu diperbolehkan. Syekh M. Ibrahim Al-Baijuri berpendapat:
“Orang yang berkurban dilarang memberikan sesuatu dari hewan kurban kepada tim jagal dengan niat sebagai upah mereka. Kalau pemberian itu diniatkan sebagai sedekah atau hadiah untuk mereka, maka hal itu tidak masalah.”
Syekh M. Ibrahim Al-Baijuri menjelaskan:
ـ (ويحرم أيضا جعله أجرة للجزار) لأنه في معنى البيع فإن أعطاه له لا على أنه أجرة بل صدقة لم يحرم وله إهداؤه وجعله سقاء أو خفا أو نحو ذلك كجعله فروة وله إعارته والتصدق به أفضل
Artinya, “(Menjadikan [daging kurban] sebagai upah bagi penjagal juga haram) karena pemberian sebagai upah itu bermakna ‘jual’. Jika kurbanis memberikannya kepada penjagal bukan dengan niat sebagai upah, tetapi niat sedekah, maka itu tidak haram. Ia boleh menghadiahkannya dan menjadikannya sebagai wadah air, khuff (sejenis sepatu kulit), atau benda serupa seperti membuat jubah dari kulit, dan ia boleh meminjamkannya. Tetapi menyedekahkannya lebih utama,” (Lihat Syekh M Ibrahim Baijuri, Hasyiyatul Baijuri, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 311).
Imam Nawawi juga menyatakan bahwa dalam mazhab Syafi’i, menjual atau menjadikan upah dari hewan kurban (baik daging, kulit, tanduk, maupun rambut) semuanya dilarang:
اتفقت نصوص الشافعي والاصحاب على انه لا يجوز بيع شئ من الهدي والاضحية نذرا كان أو تطوعا سواء في ذلك اللحم والشحم والجلد والقرن والصوف وغيره ولا يجوز جعل الجلد وغيره اجرة للجزار بل يتصدق به المضحي والمهدي أو يتخذ منه ما ينتفع بعينه كسقاء أو دلو أو خف وغير ذلك
Artinya, “Beragam redaksi tekstual madzhab Syafi’i dan para pengikutnya mengatakan, tidak boleh menjual apapun dari hadiah (al-hadyu) haji maupun kurban baik berupa nadzar atau yang sunah. (Pelarangan itu) baik berupa daging, lemak, tanduk, rambut dan sebagainya.
Dalam literatur yang lain juga menyebut bahwa tidak diperbolehkannya daging hewan kurban sebagai upah
وَيَحْرُمُ الْإِتْلَافُ وَالْبَيْعُ لِشَيْءٍ من أَجْزَاءِ أُضْحِيَّةِ التَّطَوُّعِ وَهَدْيِهِ وَإِعْطَاءُ الْجَزَّارِ أُجْرَةً مِنْهُ بَلْ هُوَ عَلَى الْمُضَحِّي وَالْمُهْدِي كَمُؤْنَةِ الْحَصَادِ
“Haram menghilangkan atau menjual sesuatu yang termasuk bagian dari hewan kurban sunah dan hadyu, dan haram pula memberi upah tukang jagalnya dengan sesuatu yang menjadi bagian hewan kurban tersebut. Tetapi biaya tukang jagal menjadi beban pihak yang berkurban dan yang ber-hadyu sebagaimana biaya memanen”. (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarh Raudl ath-Thalib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, I, hlm. 545)
Alasan Dilarangnya Daging Kurban sebagai Upah
Tidak diperbolehkannya daging kurban sebagai upah dikarenakan kurban adalah ibadah pengorbanan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Menarik kembali bagian dari kurban tersebut untuk dijadikan upah bertentangan dengan tujuan ibadah ini. Sebagian daging kurban wajib dibagikan kepada sesama, dan sebagian lainnya sunnah dimakan oleh keluarga untuk mengharap berkah (tabarruk).
وَلِأَنَّهُ إنَّمَا أَخْرَجَ ذلك قُرْبَةً فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَرْجِعَ إلَيْهِ إلَّا ما رُخِّصَ لَهُ فِيهِ وَهُوَ الْأَكْلُ وَخَرَجَ بِأَجْرِهِ إعْطَاؤُهُ منه لِفَقْرِهِ وَإِطْعَامُهُ مِنْهُ إنْ كان غَنِيًّا فَجَائِزَانِ
“Karena ia (orang yang berkurban) mengeluarkan kurbannya itu untuk mendekatkan diri kepada Allah (ibadah). Maka ia tidak boleh menarik kembali kurbannya kecuali apa yang telah diperbolehkan yaitu memakannya” (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarh Raudlath-Thalib, juz, I, hlm. 545)
Dengan demikian, memberikan daging atau kulit hewan kurban kepada penjagal sebagai upah sama saja dengan menarik kembali hewan kurban tersebut.
Sebagai gantinya, upah untuk penjagal harus diberikan dari harta lain, dan daging kurban dapat diberikan sebagai sedekah atau hadiah tanpa niat upah.
Ilustrasi hewan qurban (Foto: Istimewa)
Penulis: Elis Parwati