Doa Anak Yatim – Berawal dari Nabi Ibrahim, kemudian dilanjutkan oleh para Nabi lainnya termasuk Nabi Muhammad SAW, sunat atau khitan dianjurkan untuk laki-laki. Sebab, hal ini termasuk bagian dari kebersihan.
Namun, sunat perempuan masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Tenaga medis justru melarang sunat untuk perempuan ini. Untuk mengetahui hukum tentang sunat perempuan, simak pembahasan berikut ini yuk, Sahabat!
Hukum Sunat bagi Perempuan
Khitan atau sunat merupakan bagian dari syariat dari Nabi Ibrahim sebagai bentuk dari pengorbanan dan kebersihan. Ulama sepakat bahwa laki-laki memang dianjurkan untuk berkhitan atau sunat karena kaitannya dengan kebersihan.
Namun, sunat bagi perempuan tidak harus dilakukan. Sebab, banyak kalangan termasuk tenaga medis yang melarang untuk berkhitan bagi perempuan. Meski begitu, ada sebagian ulama yang menyatakan anjuran sunat perempuan.
Hukum mengenai khitan perempuan ini masih diperselisihkan karena tidak adanya sisa bagian yang disyariatkan dipotong pada kelamin perempuan.
Sunat Perempuan Menurut MUI
Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2008 lalu telah mengeluarkan fatwa pelarangan khitan bagi perempuan. Dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia pada 7 Mei 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan Terhadap perempuan, ditetapkan bahwa:
- Khitan atau sunat, baik bagi perempuan termasuk fitrah dan syiar Islam.
- Khitan terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.
- Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syariah karena khitan baik laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah dan syiar Islam.
Namun, dalam pelaksanaannya khitan terhadap perempuan harus memperhatikan hal-hal berikut.
a. Khitan perempuan cukup dilakukan dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris.
b. Khotan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlalar atau kesakitan.
Larangan Sunat Perempuan
Namun, menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 6 tahun 2014, setiap tindakan yang dilakukan dalam bidang kedokteran harus dengan indikasi medis dan terbukti bermanfaat secara ilmiah.
Sementara sunat perempuan sampai sekarang bukan merupakan tindakan kedokteran. Sebab, pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti memberikan manfaat untuk kesehatan.
Hal itu disimpulkan bahwa sunat perempuan dilarang menurut tindakan medis. Meskipun dilarang oleh tenaga medis, tetapi praktik sunat perempuan masih dilakukan beberapa kelompok masyarakat di Indonesia.
Padahal, larangan medikalisasi sunat perempuan juga ditegaskan oleh Kementerian Kesehatan melalui Surat Edaran Menteri Kesehatan Tahun 2006.
Kemenkes melarang praktik sunat perempuan yang dilakukan oleh tenaga profesional, namun aturan ini terus berubah seiring berjalannya waktu.
Sumber: Kompas.com
Penulis: Aisyah