Doa Anak Yatim – Qadha atau mengganti sholat sebaiknya harus segera dilaksanakan saat seseorang memang lupa mendirikan sholat wajib lima waktu. Namun, ada beberapa kondisi yang menjadikan seseorang diperbolehkan untuk tidak mengqadha sholat, misalnya ketika sedang sakit.
Sholat lima waktu merupakan salah satu kewajiban setiap umat muslim. Ajaran Islam telah memudahkan umatnya dalam berbagai perkara termasuk dalam beribadah, misalnya saat lupa atau terlewat mendirikan sholat maka Allah SWT memudahkannya dengan qadha sholat.
Dilansir dari situs Detikhikmah yang mengutip dari buku “Qadha Shalat Yang Terlewat Haruskah?” yang ditulis oleh Ahmad Sarwat, Lc., MA. Seperti yang telah kita ketahui bahwa qadha artinya melaksanakan ibadah wajib seperti sholat atau puasa di luar waktu semestinya. Qadha juga mempunyai arti lain yakni mengganti.
Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa hukum mengqadha sholat wajib yang terlewat tidak dikerjakan pada waktunya itu wajib, sebagaimana sholat dalam hukum aslinya. Contohnya saat memasuki waktu sholat Dzuhur, tetapi karena adanya berbagai alasan tertentu, seseorang melewatkan waktu sholat Dzuhur maka dari itu ia berkewajiban untuk mengqadha sholat Dzuhur di waktu setelah Dzuhur.
Al-Imam As-Suyuthi juga berkata bahwa setiap orang yang memiliki kewajiban untuk mengerjakan sesuatu, lalu tidak terlaksana, maka ia wajib mengqadhanya supaya ia bisa memperoleh kemashlahatan.
Dikisahkan dari Anas ibn Malik, Rasulullah SAW pernah bersabda terkait anjuran mengganti (qadha) sholat:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ
Artinya: “Barang siapa yang lupa menunaikan suatu sholat, maka hendaklah dia mendirikan sholat ketika dia ingat, karena tidak ada tebusannya kecuali itu.” (HR. Bukhari: 562)
Tak hanya itu, anjuran untuk segera melakukan qadha sholat sesegera mungkin ketika lupa juga tercantum dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
Artinya: “Maka hendaklah ia sholat ketika ia ingat.” (HR. Muslim, no. 684).
Ketentuan Qadha Bagi Orang yang Sakit
Apabila seorang muslim yang meninggalkan sholat lalu ia tidak mengqadha maka hukumnya adalah dosa.
Dikisahkan dalam sebuah riwayat yang berasal dari at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ahmad, saat perang Khandaq, Nabi Muhammad SAW ada dalam situasi yang sangat mencekam, sampai-sampai beliau tidak sempat mengerjakan empat sholat sampai waktu malam.
Akan tetapi, pada akhirnya beliau menunaikan sholat Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya secara berturut-turut dengan diselingi iqamah.
Dilansir dari Detikhikmah yang mengutip pendapat dari tulisan yang berjudul “Panduan Ibadah Orang Sakit” yang ditulis oleh Edi Suyanto, Muhammad Al Mansur, dkk yang mengatakan bahwa seseorang yang sakit tetap diwajibkan untuk mendirikan sholat. Namun, caranya sedikit berbeda dengan orang yang sehat. Ia diperbolehkan melaksanakan gerakan-gerakan dan posisi sholat sebisa dan semampu yang ia lakukan, meskipun tidak sampai ke level sempurna.
Allah SWT berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ َ
Artinya: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”.
Ketentuannya adalah apapun gerakan dan bacaan sholat yang masih dapat dikerjakan, maka hal itu tetap wajib untuk dikerjakan. Dan apabila sudah mustahil untuk dilaksanakan maka barulah boleh untuk ditinggalkan.
Dikutip dari data detikhikmah, M. Quraish Shihab selaku Dewan Pakar Pusat Studi al-Quran menjelaskan, para ulama telah bersepakat bahwa wanita yang sedang haid dan baru melahirkan (nifas), dan orang kafir yang belum pernah memeluk Islam, atau orang gila, semuanya, tidak wajib meng-qadha’ salatnya.
Sementara itu, bagi orang yang ketiduran, lupa, atau dalam situasi yang tidak mengizinkan (takut menyangkut diri atau orang lain seperti bidan atau dokter yang sedang menjaga pasien gawat) dituntut meng-qadha’ salatnya.
Saat itu, mereka tidak dinilai berdosa. Qadha’ mesti dilakukan segera begitu uzur atau halangan tersebut terselesaikan. Apabila seseorang berkali-kali tidak mengerjakan sholat, baik karena uzur maupun tidak, maka dia harus memperkirakan dan bahkan harus menduga keras atau meyakini -berapa kali dia tidak mengerjakan sholat dan kemudian meng-qadha’-nya.
Adapun orang sakit yang telah wafat dan tidak dapat melaksana-kan sholat, walau dengan isyarat, ketika sakit, maka dalam mazhab Abu Hanifah, ia tidak diwajibkan untuk memberi wasiat untuk membayar kafarat atau fidyah.
Akan tetapi, bagi orang yang sakit dan masih mampu mengerjakan sholat dengan gerakan isyarat, tetapi tidak melaksanakannya, maka dalam kasus semacam ini dia harus berwasiat agar keluarganya membayar kafarat dari harta miliknya.
Wallahu’alam bishawab.
Sumber gambar: liputan 6
Penulis: Elis Parwati