Doa Anak Yatim – Dalam masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia, kemungkinan seorang Muslim memasuki tempat ibadah non-Muslim, seperti gereja atau sinagog, bukanlah hal yang jarang terjadi. Terkadang hal ini diperlukan untuk urusan pekerjaan, pendidikan, atau kegiatan sosial. Namun, bagaimana pandangan Islam mengenai hal ini?
Pendapat Ulama Tentang Hukum Memasuki Tempat Ibadah Non-Muslim
Para ulama memiliki beberapa pendapat terkait hukum seorang Muslim memasuki tempat ibadah non-Muslim. Berikut adalah beberapa pendapat yang berkembang:
- Makruh
Menurut pandangan ulama dari mazhab Hanafi, masuk ke tempat ibadah non-Muslim seperti gereja atau sinagog tidaklah haram, namun makruh. Kemakruhan ini bukan disebabkan oleh tindakan memasuki tempat tersebut, tetapi lebih kepada kekhawatiran akan adanya bisikan setan di tempat-tempat tersebut.
Dalam hal ini, dalil yang mendukung adalah hadits dari Rasulullah ﷺ yang menyatakan, “Janganlah kamu duduk bersama setan-setan di tempat peribadatan mereka, karena mereka memiliki tempat-tempat tinggal yang penuh dengan kekufuran.” (HR. Tirmidzi).
- Boleh Secara Mutlak, Tapi Makruh Jika Melakukan Salat di Dalamnya
Mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali memperbolehkan seorang Muslim memasuki tempat ibadah non-Muslim. Namun, mereka menganggap makruh jika melakukan salat di dalamnya, terutama jika terdapat patung atau gambar yang dianggap bisa menodai kesucian salat.
Dalam kitab Al-Mughni oleh Imam Ibn Qudamah, disebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah memasuki Ka’bah yang di dalamnya terdapat patung-patung. Nabi ﷺ tetap melakukan salat di sana, yang menunjukkan bahwa tidak ada larangan untuk memasuki tempat ibadah yang mungkin memiliki simbol-simbol agama lain.
- Haram Jika Ada Patung, Harus dengan Izin
Sebagian ulama, terutama dari kalangan Hanbali, berpendapat bahwa memasuki gereja atau sinagog hukumnya haram jika terdapat patung atau gambar yang diharamkan oleh Islam. Namun, jika tidak ada patung atau simbol-simbol tersebut, maka diperbolehkan asalkan dengan izin dari pihak yang berwenang di tempat tersebut.
Dalil yang mendukung pandangan ini diambil dari riwayat Sayyidina Umar bin Khattab r.a., yang menolak untuk melakukan salat di dalam gereja karena adanya patung. Riwayat ini menunjukkan kehati-hatian Umar dalam menjaga keimanan dan kemurnian ibadah.
Berdasarkan pendapat-pendapat ulama di atas, hukum seorang Muslim memasuki tempat ibadah non-Muslim dapat bervariasi tergantung pada kondisi dan situasi. Jika tempat tersebut tidak mengandung unsur yang dapat mengganggu keimanan, seperti patung atau gambar, dan keperluannya mendesak, maka boleh saja seorang Muslim memasuki tempat tersebut. Namun, selalu dianjurkan untuk berhati-hati dan mempertimbangkan aspek-aspek syariah yang relevan, serta meminta izin dari pihak berwenang jika diperlukan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber gambar: Pikiran Rakyat
Penulis: Elis Parwati