Doa Anak Yatim – Sahabat Al Hilal, setiap orang pastinya memiliki makna atau arti tersendiri tentang apa itu sebuah kenikmatan yang didapat.
Akan tetapi, pada hakikatnya setiap individu akan merasa bahagia ketika ditimpa kenikmatan. Bahkan, segala upaya akan dilakukan supaya bisa mendapatkan kenikmatan.
Dalam menunjukkan rasa ketika mendapatkan kenikmatan, tentunya setiap orang juga serupa tapi tak sama. Artinya, sama-sama bahagia tapi beda cara mengkespresikannya. Ada yang girang senang bukan main, ada juga yang biasa-biasa saja.
Ada juga yang saking merasa bahagianya sampai mengabarkannya kepada khalayak umum. Atau ada juga yang karena alasan tertentu, ia menyembunyikannya dan ditutupnya dengan rapat-rapat kebahagiaan yang ia dapat.
Kira-kira mana yang benar? Apakah kita harus berbagi kebahagiaan tersebut bersama orang lain dengan menyebarluaskannya atau cukup disembunyikan dan ditutup rapat-rapat tanpa harus ada orang yang mengetahuinya? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam salah satu ayat Al Quran. Berikut ini hal yang perlu kita renungkan:
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).” (QS. Ad-Duha [93]: 11)
Syekh Nawawi al-Bantani menafsirkan tentang ayat ini, beliau menyebutkan riwayat dari Sayidina Husein bin Ali radiyallahu ‘anhuma, yang isinya, “Jika engkau mengerjakan kebaikan, maka beritahukan kepada orang lain, agar mereka menirunya.”
Perintah itu, berlaku jika di dalam hatinya tidak terdapat rasa sombong dan disertai adanya dugaan bahwa orang yang diberitahu akan menirunya.
Penjelasan di atas dapat memberi gambaran bahwa sebuah kenikmatan juga bisa berupa kemauan untuk melakukan ibadah atau kebaikan di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Sehingga, setiap ibadah yang dilakukan dalam bentuk apapun hendaknya diberitahukan kepada pihak lain, dengan catatan tidak terkandung sifat sombong di dalamnya.
Sebab, apabila terkandung sifat sombong di dalamnya, maka alangkah baiknya jika ia memilih untuk menyembunyikannya.
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman:
“Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 271
Dalam ayat di atas, Allah membebaskan manusia untuk memperlihatkan atau menyembunyikan sedekah (sebagai salah satu bentuk ibadah yang kita lakukan). Kedua hal tersebut sama-sama baik.
Menampakkan sedekah mengandung kebaikan apabila di dalamnya tidak disertai dengan sifat sombong. Sedangkan, menyembunyikan sedekah juga baik apabila dalam hati timbul perasaan takut terjangkit sifat sombong.
Tak ada manusia yang bisa menyelami isi hati sesama makhluknya Oleh sebab itu, hendaknya ayat di atas kita gunakan sebagai salah satu alat untuk introspeksi diri, janganlah kita gunakan untuk menghakimi orang lain.
Ayat ini harus kita pahami dan renungkan, jangan dijadikan sebagai “peluru” untuk menembak orang lain atas apa yang telah mereka lakukan.
Terlebih lagi saat ini, ketika zaman dan teknologi berkembang. Melalui media sosial, kita bisa dengan mudahnya tahu tentang apa yang sedang dan telah dilakukan serta diperoleh orang lain.
Apabila kita tidak pandai mengelola hati dan emosi, maka kita akan terjerumus ke dalam prasangka negatif yang tercipta karena ulah kita sendiri ketika menilai orang lain. Padahal, pada hakikatnya hal tersebut sama dengan memperkeruh hati dan pikiran kita sendiri.
Sebagai umat manusia kita benar-benar dituntut untuk dapat mengendalikan hati, pikiran dan emosi untuk dapat memilih menampakkan atau menyembunyikan nikmat yang diperoleh.
Misal, dalam masalah gaji kita di tempat bekerja. Memberitahukan berapa gaji yang kita peroleh agar rekan kita bisa lebih giat dan rajin dalam bekerja adalah hal baik. Akan tetapi, apabila hal tersebut menimbulkan rasa iri dan dengki alangkah baiknya kita menyembunyikan hal tersebut.
Jangan sampai ketika mereka telah mengetahui gaji kita, mereka justru berkata, “Katanya dapet gaji cuma sejuta perbulan, tapi, kok baru aja dua tahun kerja udah bisa beli mobil. Jangan-jangan nyeleweng, nih?”, atau kalimat lainnya yang serupa.
Sahabat Al Hilal, tidak semua orang yang mengetahui kabar kenikmatan kita bisa sama-sama merasakan kebahagiaan yang serupa. Bisa jadi, justru mereka sebaliknya.
Oleh sebab itu, sudah sepatutnya kita memilah dan memilih siapa saja yang akan diberi kabar tentang kenikmatan yang kita dapatkan.
Setiap orang memang memiliki haknya masing-masing untuk menyebarkan atau menyembunyikan kenikamatan yang diperolehnya. Hendaknya kita menyesuaikan dengan segala situasi kondisi di masing-masing tempat dan lingkungan. Di sinilah, kebijaksanaan dan ketelitian kita dalam berbagai hal akan dipertaruhkan.
Wallahu’alam Bishawab.
Sumber gambar: genota.id
Penulis: Elis Parwati