Doa Anak Yatim – Ketika ada orang tua atau saudara kita yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki utang puasa, apa yang perlu dilakukan oleh kita? Perlukah menggantikan puasa atau membayarkan fidyahnya?
Melansir dari laman islamdigest.co.id yang mengitip buku Fikih Bulan Syawal oleh Muhammad Abduh Tuasikal, Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, maka keluarga dekatnya (walau bukan ahli waris) yang memuasakan dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitu pula hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ada seseorang pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan ia masih memiliki utang puasa sebulan. Apakah aku harus membayarkan qadha’ puasanya atas nama dirinya?” Beliau lantas bersabda, “Seandainya ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?” “Iya”, jawabnya. Beliau lalu bersabda, “Utang Allah lebih berhak untuk dilunasi.” (HR. Bukhari dan Muslim).”
Apa yang dibahas di atas adalah apabila orang yang tidak menunaikan ibadah puasa karena ada uzur misalnya karena sakit, lalu ia masih mampu dan memiliki waktu untuk mengqadha’ ketika uzurnya tersebut hilang sebelum meninggal dunia. Sedangkan, bagi yang tidak berpuasa karena ada uzur lantas sama sekali tidak mampu untuk melunasi utang puasanya dan ia meninggal dunia sebelum hilangnya uzur atau ia meninggal dunia setelahnya, namun tidak mempunyai waktu untuk mengqadha’ puasanya, maka tidak ada qadha’ baginya, tidak ada fidyah, dan tidak ada dosa untuknya. Begitulah yang diterangkang oleh Syaikh Musthafa Al-Bugha yang ditafsirkan dari At-Tadzhib fii Adillah Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib.
Maka dapat disimpulkan, orang yang dilunasi utang puasanya adalah orang yang mampu untuk melunasi qadha’ puasanya, namun telanjur meninggal dunia. Sedangkan, orang yang tidak mampu mengqadha’ lalu meninggal dunia, maka tidak ada perintah qadha’ bagi ahli waris atau keluarganya, tidak ada kewajiban untuk membayarkan fidyah, dan juga tidak menjadi dosa.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan pula, “Barang siapa masih memiliki utang puasa Ramadhan, ia belum sempat melunasinya lantas meninggal dunia, maka perlu dirinci. Jika ia menunda utang puasanya karena ada uzur lantas ia meninggal dunia sebelum memiliki kesempatan untuk melunasinya, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa. Karena ini adalah kewajiban yang tidak ada kesempatan untuk melakukannya hingga meninggal dunia, maka kewajiban itu gugur sebagaimana dalam haji. Sedangkan jika uzurnya hilang dan masih memiliki kesempatan untuk melunasi, tetapi tidak juga dilunasi hingga meninggal dunia, maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin, di mana satu hari tidak puasa memberi makan dengan satu mud.” (Al-Majmu’).
Berikut merupakan beberapa dalil tentang bolehnya melunasi utang puasa orang yang telah meninggal dunia dengan menunaikan fidyah (memberi makan kepada fakir miskin).
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Jika seseorang sakit di bulan Ramadhan, lalu ia meninggal dunia dan belum lunasi utang puasanya, maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin dan ia tidak memiliki qadha’. Adapun jika ia memiliki utang nazar, maka hendaklah kerabatnya melunasinya.” (HR. Abu Daud, Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif).
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barang siapa yang meninggal dunia lantas ia masih memiliki utang puasa sebulan, maka hendaklah memberi makan (menunaikan fidyah) atas nama dirinya bagi setiap hari tidak puasa.” (HR. Tirmidzi. Abu ‘Isa At-Tirmidzi berkata, “Kami tidak mengetahui hadits Ibnu ‘Umar marfu’sebagai perkataan Nabi kecuali dari jalur ini. Namun, yang tepat hadits ini mauquf, hanya perkataan Ibnu ‘Umar.” Al-Hafiz Abu Thahir mengatakan sanad hadits ini dhaif).
Imam Syafi’i dalam pendapat lamanya (qadim) mewajibkan bagi yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki utang puasa, tidak harus dilunasi dengan memberi makan (fidyah), tetapi juga boleh bagi kerabatnya melunasi utangnya dengan menunaikan ibadah puasa atas nama orang yang telah meninggal tersebut. Bahkan pendapat inilah yang disunnahkan seperti yang dinukil dari Imam Nawawi dari Syarh Shahih Muslim. Kata Imam Nawawi, pendapat qadim dari Imam Syafi’i itulah yang lebih tepat karena haditsnya yang begitu kuat.
Sedangkan pendapat Imam Syafi’i yang jadid (terbaru), tidak bisa dijadikan hujjah (dukungan) karena hadits yang membicarakan memberi makan bagi orang yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa adalah hadits dhaif, wallahu a’lam bishawab. (Kifayah Al-Akhyar)
Dapat disimpulkan kembali, bahwa orang yang punya utang puasa dan telanjur meninggal dunia sebelum utangnya dilunasi, maka bisa ditempuh dua cara: (1) membayar utang puasa dengan kerabatnya melakukan puasa dan (2) menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin. Cara pertama ini lebih baik sebagaimana penguatan pendapat di atas.
Sumber foto: suara.com
Penulis: Elis Parwati