Doa Anak Yatim – Dai Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Barang siapa yang utang puasa ketika meninggal dunia, hendaklah dilunasi dengan cara memberi makan (kepada orang miskin), satu hari tidak puasa dibayar dengan satu mud.”
Satu mud yang dimaksud yaitu 1/4 Sho’ yang jumlahnya setara dengan ukuran yang biasa dipakai unuk membayar zakat fitrah yakni 2,5 – 3,0 kg beras.
Bagi orang yang meninggal dalam keadaan masih memiliki hutang puasa, yang lebih utama dari membayar fidyah adalah membayar utang puasa. Tentunya disarankan untuk diwakilkan oleh kerabat terdekat atau oleh orang yang diizinkan atau juga ahli waris si mayit.
Hal ini juga tercantum dal sebuah hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,
“Barangsiapa yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, maka keluarga dekatnya (walau bukan ahli waris) yang mempuasakan dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitu pula hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Ada seseorang pernah menemui Rasulullah SAW lantas ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan ia masih memiliki utang puasa sebulan. Apakah aku harus membayarkan qodho’ puasanya atas nama dirinya?” Beliau lantas bersabda, “Seandainya ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?” “Iya”, jawabnya. Beliau lalu bersabda, “Utang Allah lebih berhak untuk dilunasi.”
Akan tetapi, pembahasan di atas adalah hanya untuk orang yang tidak berpuasa karena uzur misalnya karena sakit lalu ia masih memiliki kemampuan untuk melunasi utang puasanya keika uzurnya tersebut hilang sebelum dunia.
Sedangkan, bagi mereka yang memiliki uzur namun tidak mampu melunasi utang puasa tersebut kemudian ia meninggal dunia sebelum uzurnya hilang atau pula ia meninggal setelah uzurnya hilang tetapi ia tidak memiliki waktu untuk membayar utang puasanya, maka tidak ada qodh baginya, tidak ada fidyah dan tidak ada dosa untuknya. Demikian yang diterangkan oleh Syaikh Musthofa Al Bugho yang penulis sarikan dari At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib.
Maka dapat disimpulkan bahwa orang yang mesti dilunasi hutang puasanya adalah orang yang masih memiliki waktu atau diberi kesempatan untuk melunasi hutang puasanya tetapi ia terlanjur meninggal dunia. Sedangkan bagi orang yang tidak memiliki kesempatan untuk membayar utang puasanya dengan mengqodho lalu ia meninggal dunia, maka tidak ada oerintah qodho bagi ahli waris atau keluarga terdekatnya, maka tidak ada kewajiban baginya untuk membayar fidyah dan tidak ada dosa untuk mayit.
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan,
“Barangsiapa masih memiliki utang puasa Ramadhan, ia belum sempat melunasinya lantas meninggal dunia, maka perlu dirinci. Jika ia menunda utang puasanya karena ada uzur lantas ia meninggal dunia sebelum memiliki kesempatan untuk melunasinya, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa. Karena ini adalah kewajiban yang tidak ada kesempatan untuk melakukannya hingga meninggal dunia, maka kewajiban itu gugur sebagaimana dalam haji. Sedangkan jika uzurnya hilang dan masih memiliki kesempatan untuk melunasi namun tidak juga dilunasi hingga meninggal dunia, maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin, di mana satu hari tidak puasa memberi makan dengan satu mud.” (Al Majmu’).
Berikut ada beberapa dalil lain yang menerangkan tentang bolehnya melunasi utang puasa untuk orang yang telah meninggal dunia dengan membayarkan fidyah.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Jika seseorang sakit di bulan Ramadhan, lalu ia meninggal dunia dan belum lunasi utang puasanya, maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin dan ia tidak memiliki qodho’. Adapun jika ia memiliki utang nazar, maka hendaklah kerabatnya melunasinya.” (HR. Abu Daud)
Dalam pendapat lamanya (qodim) Imam Syafi’i juga mewajibkan bagi yang meninggal dunia dalamkeadaan masih memiliki utang puasa, tidak diharuskan dengan menunaikan fidyah. Namun, boleh dengan kerabatnya yang berpuasa atas nama dirinya.
Bahkan pendapat terakhir inilah yang disunnahkan sebagai mana yang dinukil oleh Imam Nawawi dari Syarh Muslim, ia berkata bahwa itulah yang lebih tpat karena mengingat hadisnya yang begitu kuat.
Sedangkan pendapat Imam Syafi’i yang jadid (terbaru) tidak bisa dijadikan dukungan karena hadis yang menerangkan tentang kewajiban untuk meunaikan fidyah bagi orang yang telah meninggal dunia dalam keadaan masih memilikiutang puasa adalah hadis dhaif (lemah).
Wallahu’alam Bishawab.
Sumber gambar: tribunbatam.com
Penulis: Elis Parwati